Cerbung: Pendaki Gunung Misterius [Part 4] - Khai Uta

PENDAKI GUNUNG MISTERIUS

[PART 4]

Si orang asing kembali mengarahkan telunjuknya ke atas, ke arah lereng tersebut. Kemudian tanpa basa basi lagi langsung berjalan ke dasarnya, lalu sambil berpegangan pada bebatuan di atas kepalanya, dia mulai memanjati dinding tebing dengan mudahnya.

Kami tidak punya banyak pilihan. Kami bisa memutar arah, kembali ke jalur awal, pulang dan mengakui kekalahan.  Atau mengikuti pria aneh itu, yang menolak untuk berbicara, melewati jalur berbahaya yang mungkin tak pernah dilewati oleh siapa pun juga sebelumnya. Termotivasi oleh pemandangan di puncak Preta yang konon katanya begitu indah dan legendaris, kami mengikuti pria itu dengan saksama. Di mana dia berpegangan, kami ikut. Di mana kakinya berpijak, kami juga berpijak. Selangkah demi melangkah kami menantang maut, tak berani menengok ke belakang, ke ketinggian yang langsung akan membunuh kami kalau kami sampai terjatuh. 

Jalur ini tidak begitu panjang. Kami menempuhnya hanya dalam waktu kira-kira lima belas menit. Tapi detik-detik berlalu terasa lama dan begitu menyiksa. 

Uap napas yang berembus dari balik masker kami tampak semakin berharga dari biasanya. Karena tiap napas yang dihembuskan, mungkin adalah napas terakhir kami.

Hanya ada sedikit penghiburan yang menanti kami di puncak lereng. Kami telah sampai di titik di mana kami tak bisa kembali melewati jalur di mana kami datang. Pilihan kami hanya dua. Menyelesaikan jalur Iceman Trek atau mati dalam upaya kami melakukannya.

Dan saat kami memandang jalur yang terbentang di hadapan kami, pilihan kedua tampaknya jauh lebih mungkin untuk terjadi. Puncak Preta tampak begitu jelas di atas kami, dalam jangkauan jalur sepanjang kurang lebih dua kilometer. Jalur yang tampak jauh lebih menakutkan dari jalur mana pun yang pernah kulihat sebelumnya.

Bagian dari jalur tersebut yang mungkin dapat dilewati hanya memiliki lebar sekitar 60 sentimeter saja, dengan jurang sedalam kurang lebih 150 meter di kedua sisinya pada sudut kemiringan yang hampir mendekati 90 derajat. Belum lagi dengan adanya angin kencang yang berputar-putar setiap saat menerpa kami. Kau pernah lihat pertunjukkan sirkus di mana seorang pria berjalan pada sehelai tali tipis di ketinggian tanpa tali pengaman sama sekali?

Itu bukan apa-apa dibandingkan dengan ini.

"Oh... Ini ide yang luar biasa. Luar biasa konyolnya!" sambar Dalton tajam pada pria itu yang telah membawa kami ke jalur berbahaya ini. Dia tentu saja tidak merespons sama sekali.

"Sekarang atau tidak sama sekali, teman-teman. "Ayo. Kita pasti bisa." ujarku berusaha tampak berani (aku cuma akting tentu saja).

Aku mulai melangkah pelan dengan gemetar di jalur tersebut. Yang lain mulai mengikutiku — Mark, Dalton, Mitch, Kellen, dan pria tersebut di paling belakang. Tak lama kemudian kami mulai berjalan pelan sambil menundukkan badan berusaha menghindari angin sebisa mungkin, berpegangan erat pada tepian jalur tersebut, sambil menyeret kaki-kaki kami dengan waswas. Kami semua telah menanggalkan masker kami supaya dapat melihat dengan lebih jelas. Salju pun langsung menerpa wajah kami.

Kematian bukan satu-satunya akhir yang pasti akan kami dapatkan kalau kami sampai terjatuh. Tapi juga fakta bahwa jasad kami mungkin akan membusuk untuk selamanya di antara hamparan salju pegunungan Himalaya. Mengevakuasi jasad seseorang yang tewas di atas sini bukanlah perkara yang mudah. Dan pada kebanyakan kasus yang terjadi di mana para pendaki meninggal dunia, teman-teman mereka tak punya pilihan lain selain meninggalkan jasad mereka begitu saja untuk mendiami tempat ini entah sampai kapan. Mungkin untuk selamanya.

Saat pikiran-pikiran mengerikan ini berputar-putar dalam kepalaku, seakan-akan seperti sebuah pertanda, sebuah jeritan mengerikan tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku langsung memutar kepala dan hampir saja kehilangan keseimbangan. Kellen telah terpeleset dan sedang bergelantungan pada tepi jalur dengan satu tangan saja. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan karena teror mencekam. Aku bisa melihat air mata ketakutan mulai menetes dari kedua matanya yang terbelalak ngeri.

Saat Kellen berusaha untuk tetap berpegangan dengan erat, pandangan kami semua langsung tertuju pada si pria asing, satu-satunya yang berjalan tepat di belakang Kellen, mengira dia akan cepat-cepat menjulurkan tangan untuk menolong. Tapi pertolongan darinya tak kunjung datang.

Dia hanya berdiri mematung di tempatnya. Dia bahkan tak membungkukkan tubuh untuk menghindari terpaan angin kencang. Tampak tak terpengaruh oleh suhu udara yang dingin menusuk tulang. Dia tak menjulurkan tangan, kaki atau apa pun juga untuk menolong Kellen. Dia hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seakan-akan dia bukan bagian dari grup kami.

"Cepat tolong dia!" jeritku tak percaya melihat sikapnya. "TOLONG DIA, BRENGSEK!"

Mark, Dalton, dan Mitch serentak berseru padanya untuk menolong teman kami dengan putus asa. Suara teriakan kami nyaris tenggelam oleh lolongan angin. Tapi pria itu tetap berdiri tak bergeming.

Akhirnya Kellen berhasil menggapai ujung jalur dengan tangannya yang lain. Mitch langsung berjalan mundur, dan mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk menarik teman kami itu kembali ke  jalur. Keduanya melemparkan pandangan marah bercampur jijik luar biasa pada pria itu, sebelum kami kembali melanjutkan perjalanan. Namun sama seperti sebelum-sebelumnya, dia sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun juga.

Malam itu, kami berlima duduk berdesak-desakan di dalam tenda kami dan hanya sesekali berbicara. Kami sama sekali tak merasakan beban moral akan apa yang telah kami lakukan tadi saat kami akhirnya tiba dengan selamat, walaupun masih sangat terguncang, di puncak Gunung Preta. Kami memutuskan untuk tidak lagi mengikutsertakan pria itu dalam grup kami dan meninggalkannya seorang diri di puncak Preta yang beku.

Ya mungkin itu adalah hukuman yang terlalu berat untuk diberikan.

Tapi setimpal dengan perbuatannya.

Dia telah membawa kami melewati jalur yang berbahaya tapi sama sekali tak berusaha untuk menolong Kellen saat dia sedang bersusah payah berusaha menyelamatkan diri. Kami tak lagi sudi menerima orang itu dalam grup kami. Kami bahkan tak memberitahu apa-apa padanya dan langsung meninggalkannya begitu saja.

Di tengah malam, Mark yang saat itu sedang bertugas untuk berjaga-jaga, tiba-tiba membangunkan kami semua yang sedang beristirahat.

"Dia ada disini!" bisik Mark. "Pria itu! Dia ada disini. Dia berhasil menyusul dan mengikuti kita!"

Kami semua duduk diam dengan waspada, mendengarkan bunyi-bunyian yang tak salah lagi adalah bunyi langkah-langkah kaki seseorang yang sedang berjalan mondar-mandir di luar. Lalu akhirnya, dengan bersenjatakan sebilah kapak, Mark membuka ritsleting tenda dan keluar untuk memeriksa selama beberapa saat yang terasa begitu lama.

"Well, bagaimana?" tanyaku.

"Tidak ada apa-apa. Aku tidak melihat siapa pun juga." jawab Mark akhirnya.

Salju baru mulai turun lagi, menutupi pegunungan dengan lapisan selimut putih pucat yang baru. Tapi saat kami terbangun, kami menemukan jejak-jejak kami di sekitar tenda kami. Pria itu ada di sini semalam. Dan tampaknya dia berkeliaran semalam suntuk.

Kami buru-buru mengepak barang-barang dan mulai bergerak turun di punggung Gunung Preta, sambil mengamati sekeliling kami dengan waspada dari kemunculan orang aneh itu. Empat jam kemudian saat kami masih menempuh perjalanan ke bawah, dia akhirnya menampakkan dirinya. 

"Teman-teman," ujar Mitch penuh kewaspadaan saat kami sedang berusaha turun dari gunung. Kami serentak menoleh ke belakang dan melihatnya di atas sana. Masih dalam balutan pakaian pendakinya yang serba hitam dengan logo merah di bagian dada. Ekspresi wajah Dalton langsung berubah menjadi murka.  Dia mulai berjalan mendekati pria tersebut dan kami langsung mengikutinya. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Dalton dan aku tak peduli.

Saat kami akhirnya tiba di hadapannya, wajah pria itu masih tersembunyi di balik maskernya dan dia hanya berdiri menatap kami tanpa suara. Tak ada pembelaan diri atau permintaan maaf, dia membiarkan Dalton menyambar kerah jaketnya dan mendorongnya ke tepi pegunungan tepat di bibir jurang, seakan-akan dia sudah tahu ini akan terjadi.

Dalton mencondongkan tubuh si orang asing ke tepi jurang, hanya menahan tubuhnya dari jatuh dengan cengkeraman tangannya di kerah jaket pria itu. Jalur tersebut sangat sempit dengan jurang sedalam beratus-ratus meter yang membentang di bawah kami.

"Beri aku satu alasan untuk tidak membiarkanmu jatuh ke dasar jurang ini supaya kau mampus," ancam Dalton. Mata  mereka saling beradu. Sesaat kukira Dalton akan benar-benar melakukannya. Tapi kemudian sama tiba-tibanya dengan kemunculan murka di wajahnya, ekspresi Dalton tiba-tiba berubah. Matanya menatap kosong. Dia menarik pria itu menjauh dari tepi jurang, dan hanya berdiri tak bergerak selama beberapa saat seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Kemudian, sebelum kami sempat mencegahnya, dia langsung menghempaskan diri ke tepian jurang.

Kami semua serentak menjerit. Tapi hanya Kellen saja, sendirinya baru saja lolos dari maut, yang secara refleks bergerak ke tepian jurang dengan tangan terjulur dalam sebuah usaha yang sia-sia dan telat untuk menyelamatkan teman kami itu. Dan hanya Kellen saja yang kehilangan keseimbangan dan terpeleset, dan langsung terjatuh dari tepi jurang dengan posisi kaki terlebih dahulu, menyusul Dalton.

Jeritan Kellen terdengar selama beberapa detik saja. Dalton sama sekali tidak mengeluarkan suara apa pun saat dia terjatuh. Mark, Mitch, dan aku hanya bisa memandang dengan ngeri saat kedua teman kami menjadi dua titik gelap kecil dengan latar belakang dasar jurang yang putih tertutup salju, jatuh berjumpalitan menemui ajal mereka. Dua buah kepulan salju kecil melayang naik di sekitar tubuh mereka saat mereka akhirnya tiba di bawah sana.

Tapi kami sadar bahwa waktu untuk menangisi kematian kedua teman kami belum tiba. Ancaman masih berada begitu dekat. Hanya saat kami menatap berkeliling kami baru menyadari bahwa pria aneh itu telah lenyap.

BERSAMBUNG!!! 


PART 5

Part 5 akan di upload jam 09:00 16 Februari 2021

Follow Blog Ini Untuk Notifikasi UPDATE
0 Komentar

About the author

Khai
Khai Uta : Indonesia blogger, Author, Poet writer, Traveller blogger, Motivate blogger. Live in Lombok Indonesia .

Posting Komentar

Hai minna-san^^
Cara bicara menunjukkan kepribadian, berkomentarlah dengan baik dan sopan… Marii mengobrol