PENDAKI GUNUNG MISTERIUS
[PART 1]
Ada sesuatu yang jahat bersemayam di antara segala keindahan yang kita lihat di sekeliling kita.
Aku tahu kata-kata ini mungkin terdengar sedikit terlalu 'berat' untuk memulai kisahku. Tapi mungkin kalau kau terus membacanya, siapa tahu kau nanti akan setuju denganku, karena aku telah memikirkan kata-kata tersebut dengan saksama. Sebagai seorang pendaki gunung yang andal, sepanjang hidupku telah kuhabiskan untuk mencari keindahan. Dan dalam pencarianku aku telah menaklukkan beberapa puncak-puncak tertinggi di dunia: Denali, Cho Uyu, Kilimanjaro. Dan dengan setiap langkah yang kuambil dalam setiap pendakian, kekagumanku semakin bertambah akan betapa banyaknya keindahan yang ditawarkan oleh dunia ini.
Dulunya, setiap pendakian yang kulakukan, selalu memuaskan rasa hausku akan petualangan dalam mencari keindahan dunia. Aku merasa menjadi seseorang yang berarti. Di atas puncak-puncak dunia, aku merasa jauh lebih berharga. Di sana, aku adalah pusat dari segala pencapaian manusia. Pusat dari hasrat manusia untuk menjelajah, dihormati, dan menaklukkan. Dan bukan hanya itu saja, aku jauh lebih baik dari mereka yang tak berani datang ke sana. Lebih baik dari mereka yang tak punya waktu untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Lebih baik dari mereka yang entah mengapa sudah bisa berpuas diri hanya dengan menjalani kehidupan mereka tanpa pernah melakukan sebuah pencapaian yang tak banyak orang bisa mendapatkannya.
Tapi sekarang... sekarang keindahan membuatku waspada. Sekarang aku takut pada ketinggian. Karena walaupun tanpanya aku merasa hidupku tak memiliki arti sama sekali, aku masih tetap harus mencari cara bagaimana supaya aku dapat tidur nyenyak di malam hari. Yang sulit untuk dilakukan karena aku tahu bahwa di atas sana jauh berbeda dengan di bawah sini. Lebih indah, ya, tapi juga lebih mengerikan. Lebih menyulitkan. Lebih tak kenal belas kasihan. Aku tahu aku tak mampu menghapus apa yang telah terjadi padaku. Yang telah terjadi pada kami semua. Tapi paling tidak aku bisa menuturkan kisahku dengan harapan mungkin aku bisa menyelamatkan orang lain dari nasib buruk yang sama.
Jadi, kumohon dengan sangat. Walaupun tempat itu sangat indah, dan walaupun pemandangannya sangat luar biasa dengan garis cakrawala yang tampak mengagumkan sejauh mata memandang, tolong dengarkan peringatanku ini baik-baik: Jangan pernah mendaki di jalur Iceman Trek.
***
"Ini sudah semua!" seru Kellen, sambil meletakkan tas punggung terakhir di tanah lalu menutup pintu belakang mobil van kami dengan bunyi nyaring. Uap napasnya tampak bercahaya tertimpa berkas-berkas sinar Matahari pagi itu. Tak ada orang-orang lain di sekitar kami sampai sejauh berkilo-kilo meter.
Perjalanan kami ke Bhutan tidaklah mudah. Tapi kami berhasil melakukannya. Walaupun kami sedikit kesulitan saat bermobil di jalan pegunungan yang licin tak rata dan tertutup es dalam kegelapan, namun bagian tersulit dari perjalanan kami belum juga dimulai: Iceman Trek, jalur sepanjang lebih dari tiga ratus kilometer yang harus kami tempuh selama tiga minggu melewati puncak-puncak Himalaya. Jalur yang juga disebut-sebut sebagai salah satu jalur pendakian tersulit di seluruh dunia. Jalur itu tampak jelas sekali terbentang sekitar beberapa ratus meter jauhnya di hadapan kami.
Matahari bersinar semakin terang walaupun udara masih terasa beku pada suhu minus sembilan derajat celcius. Semoga tidak bertambah dingin kalau kami beruntung. Kami bahkan belum memulai pendakian. Gunung Keijban, destinasi pertama kami, tampak menjulang tinggi mengancam di kejauhan. Kalau semua berjalan dengan lancar, kami akan tiba di sana dua hari ke depan.
"Biasakan diri kalian dengan udara dingin ini, anak-anak." ujarku penuh otoritas. Aku belum pernah mendaki puncak-puncak itu sebelumnya. Tapi sejauh ini aku adalah pendaki yang paling andal di grup kami. Aku sudah pernah mendatangi puncak-puncak Himalaya yang lainnya sebelum ini dan aku yakin saat itu kalau aku akan kembali lagi suatu hari nanti.
"Bagaimana kalau kalian yang membiasakan diri melihat putingku?" adalah jawaban yang kudengar dari belakangku. Aku menoleh dan di sana berdiri Mark yang sedang berusaha menarik ke empat lapis kaosnya ke atas sampai melewati pusar dalam usahanya untuk memperlihatkan dadanya pada kami. Mark, yang nama lengkapnya adalah Marcus, diadopsi dari Ethiopia saat dia masih berumur empat belas tahun dan dia suka sekali menyelipkan lelucon-lelucon atau kata-kata kotor setiap kali dia berbicara. Saudara-saudara angkatnya sudah mengajaknya menonton Borat di minggu pertamanya di Amerika dan mungkin karena itu dia selalu mengutip kata-kata konyol dari tokoh utama di film tersebut.
Mau tidak mau aku langsung tertawa sambil memutar tubuh kembali untuk mengamati teman-temanku yang akan menghabiskan tiga minggu ke depan bersama-sama denganku dan Mark — Dalton, Mitch, dan Kellen. Kami berlima sudah pernah memenangkan lomba lokal lari antar kota bersama-sama di sekolah menengah dulu. Kami juga tetap menjalin persahabatan yang erat walaupun perayaan reuni lima-tahun-sekali alumni sekolah kami baru saja berlalu, yang tentu saja tidak kami hadiri sama sekali. Kami semua masing-masing menjalani kehidupan kami dengan aktif. Tapi hanya Kellen dan aku yang punya pengalaman mendaki. Dia dan aku berhasil menaklukkan puncak Kilimanjaro tahun sebelumnya.
"Jadi kapan kita mulai jalan?" tanya Dalton sambil menggantungkan tasnya ke bahu. Aku menarik napas dalam-dalam dan untuk terakhir kalinya memandangi mobil van kami, tanda peradaban barat terakhir yang kami lihat sebelum perjalanan berminggu-minggu ini dimulai.
"Sekarang."
BERSAMBUNG!!!
Part 2 akan di upload jam 09:00 14 Februari 2021