PENDAKI GUNUNG MISTERIUS
[PART 3]
Di pagi harinya semua usaha kami untuk mengajak si orang asing berbicara kembali gagal. Tapi kami tidak terlalu memedulikannya lagi. Kami sarapan cepat-cepat dan kembali melanjutkan perjalanan. Hari ini kami akan bergerak lebih jauh.
Pendakian kami semakin bertambah sulit, lebih dari yang kubayangkan sebelumnya. Tapi puncak Gunung Keijban di kejauhan tak pernah lenyap dari pandangan, membuat semangat kami terus menyala. Mengetahui hadiah apa yang akan kau dapatkan setelah bersusah payah selalu dapat memberikan motivasi yang berguna. Kami terus berjalan dan telah melupakan malam pertama berkemah kami yang muram. Kami mulai saling bercanda dan bercakap-cakap sambil tertawa seakan-akan tak ada orang asing itu di antara kami. Kami tak lagi berusaha mengajaknya berbicara. Kami berpikir dia mungkin akan mulai sendiri kalau dia mau.
Satu-satunya kontribusi yang dilakukan oleh pria tersebut hari itu, terbukti sangat menolong kami dalam melanjutkan perjalanan. Matahari mulai terbenam saat kami tiba di hadapan sebuah sungai yang hampir seluruh permukaannya tampak beku. Sungai itu membentang sepanjang mata memandang dan walaupun lebarnya kira-kira hanya sekitar 6 meter saja, tapi tampaknya kami akan mengalami sedikit kesulitan untuk menyeberanginya.
Saat kami berdiri di tepian sambil berdiskusi apa yang harus kami lakukan, pria tersebut mengangkat tangan dan menunjuk ke arah sebatang pohon tinggi kurus yang tumbuh di sisi sungai yang sama dengan kami. Aku langsung memahami maksudnya dan buru-buru merogoh ke dalam tasku untuk mengambil sebuah kapak.
Walaupun cuacanya yang dingin sedikit menyulitkan, kami akhirnya berhasil menebang pohon itu sejam kemudian. Begitu pohon tersebut mulai roboh, kami berenam, termasuk si orang asing, bersama-sama mendorongnya ke arah seberang sungai. Kami akhirnya berhasil menyeberang dan kembali melanjutkan perjalanan sejauh kurang lebih dua kilometer sebelum berhenti dan mendirikan tenda untuk beristirahat malam itu.
"Pohon itu tadi ide yang benar-benar cemerlang," ujarku pada tamu asing kami saat kami semua duduk mengelilingi api unggun.
Dia hanya menganggukkan kepala.
Malam itu suasananya berlangsung tenang. Tapi Kellen dan Dalton sama-sama terbangun di tengah malam karena bermimpi buruk bahwa mereka terjatuh dari tepi sebuah jurang. Mimpi terjatuh adalah hal yang wajar terjadi saat kau sedang melakukan sebuah pendakian. Setelah menghabiskan banyak waktu berjalan di permukaan salju, hanya beberapa inci saja dari tepian jurang, alam bawah sadarmu akan mulai merasa sedikit kacau.
Kami akhirnya tiba di puncak Gunung Keijban menjelang tengah hari. Dan hari itu juga aku menyadari sesuatu. Tamu kami tak sedikit pun tampak lelah atau kecapaian. Padahal kami semua, bahkan aku sekalipun, sudah hampir kehabisan tenaga saat kami akhirnya tiba di puncak. Tapi orang ini tak pernah beristirahat sekali pun. Dia tak pernah mengeluh kalau tubuhnya terasa sakit atau keram. Dia tak pernah berhenti sejenak untuk mengambil napas. Seakan-akan dia hanya sedang jogging santai di pagi hari Minggu yang tenang, dan bukannya sedang mendaki puncak-puncak tertinggi di dunia menantang maut dan rasa takut. Diam-diam aku merasa kagum dan sedikit iri padanya.
Saat kami berdiri di puncak Keijban menikmati pemandangan indah di sekitar kami, Kellen mulai menuturkan mimpinya pada kami, di mana dia terjatuh dari tebing. Dalton menimpali dan berkata dia juga memimpikan hal yang sama. Lalu pria aneh itu mengangkat salah satu tangannya ke udara
"Kau juga bermimpi seperti itu?" tanya Mitch padanya.
Dia mengangguk pelan lalu menundukkan kepalanya, tampak sedih.
Lalu suatu malam, berpuluh-puluh kilometer jauhnya dari puncak Keijban, jalur itu mulai mengkhianati kami. Badai Salju hebat mulai mengamuk menjelang Matahari terbenam tanpa henti. Kami bahkan tak mampu menyalakan api unggun sama sekali. Kami hanya bisa menikmati makan malam dingin kami dan langsung masuk ke dalam tenda. Semua kecuali pria itu.
Dia tetap duduk di kursi campingnya di luar, di tengah badai, sampai menjelang tengah malam. Suhu udaranya sudah jauh lebih rendah di bawah nol derajat. Belum lagi angin beku yang mengamuk di sekitar kami. Bahkan berada dalam perlindungan tenda kami, terbungkus oleh kantung tidur, jaket dan segala kelengkapan lainnya yang sanggup kami beli, tak mampu mengusir rasa dingin yang menusuk tulang dan melumpuhkan. Kami memutuskan tak ada gunanya bergantian untuk berjaga-jaga malam itu. Kami bahkan tak mampu tidur lebih dari setengah jam sebelum kembali terjaga.
Saat rasa kantuk datang dan pergi, kami mulai saling berbisik-bisik membahas pria aneh tersebut. Apakah sebaiknya kami menyuruhnya masuk dan bergabung dengan kami? Apa kami sebaiknya memberinya selimut tambahan?
hidu
Namun kami akhirnya memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa mengingat sikapnya yang anti sosial. Tapi Mark sempat menjulurkan kepalanya sedikit keluar tenda di antara amukan badai untuk melihat kondisi orang itu.
"Dia hanya duduk-duduk saja di luar sana," kata Mark pada kami dengan ekspresi tak percaya. "Dia bahkan tak tampak kedinginan atau berusaha menghangatkan diri. Dia hanya duduk santai seperti sedang menonton TV."
Situasinya semakin bertambah parah empat hari kemudian. Saat itu kami baru saja turun dari satu puncak lagi dan sudah hampir sampai di puncak ke tiga, Gunung Preta. Altitude Sickness, atau penyakit ketinggian seperti sesak napas, sakit kepala dan lain-lain mulai menguasai kami semua. Kami bergerak pelan seperti sepasukan mayat hidup.
Saat kami terus berjalan dengan lemas dan hampir kehabisan tenaga karena seluruh otot-otot kami terasa beku, dengan kecewa kami menemukan bahwa jalur yang akan membawa kami ke puncak Preta telah lenyap di bawah timbunan salju longsor. Tapi lagi-lagi, sama seperti sebelumnya, pria itu kembali menyarankan jalan keluar bagi kami. Kali ini dia mengacungkan telunjuk ke arah sebuah lereng cadas yang tampak terjal dan nyaris mustahil untuk didaki oleh siapa pun juga.
"Uhmmm... ya. Nggak deh. Terima Kasih. Maaf kalau begitu." ujar Kellen, menengadah menatap jalur berbahaya tersebut.
Pria itu langsung berjalan mendekati Kellen dan menatapnya dengan. Mereka berdua hampir sama tingginya walaupun tubuh pria tersebut sedikit lebih berisi. Kellen tampak sedikit terkejut oleh sikap agresi ini karena dia langsung mundur selangkah
BERSAMBUNG!!!
Part 4 akan di upload jam 09:00 15 Februari 2021